Popular Posts

Pages

RSS
Container Icon

Persahabatan Lintas Pagar






Judul buku: Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis
Judul asli: The Boy in the Striped Pyjamas
Pengarang: John Boyne
Alih bahasa: Rosemary Kesauli
Tahun terbit: 2007
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 233

Ini adalah yang tertulis di bagian belakang buku: “Kisah tentang Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis ini sulit sekali digambarkan. Biasanya kami memberikan ringkasan cerita di sampul belakang buku, tapi untuk kisah yang satu ini sengaja tidak diberikan ringkasan cerita, supaya tidak merusak keseluruhannya. Kalau Anda membaca buku ini, Anda akan mengikuti perjalanan seorang anak lelaki berumur sembilan tahun bernama Bruno. (Meski buku ini bukanlah buku untuk anak kecil.) Dan cepat atau lambat, Anda akan tiba di sebuah pagar, bersama Bruno. Pagar seperti ini ada di seluruh dunia. Semoga Anda tidak pernah terpaksa dihadapkan pada pagar ini dalam hidup Anda.”
****

Anda pasti penasaran dengan “ringkasan” tersebut bukan? Buku seperti apa yang akan merusak cerita jika diberikan ringkasan? Hal inilah yang membuat saya tanpa pikir panjang langsung menghabiskan malam bersama buku ini. Sangat penasaran. Dan dugaan saya tepat, buku yang sulit untuk diungkap dengan kata-kata. Emosi pembaca dimainkan sepanjang cerita, dengan dugaan-dugaan yang menyesakkan dada. Dari judulnya, mungkin Anda sudah bisa menebak konotasi apa yang terkait dengan “piama garis-garis”. Tapi saya tidak akan memberi pembenaran pada dugaan Anda, tidak sekarang.

Buku ini berkisah tentang seorang anak bernama Bruno, berusia sembilan tahun dan tumbuh pada masa Perang Dunia II. Kisah dimulai saat keluarga Bruno, tanpa boleh banyak bertanya, harus pindah dari rumah mereka di Berlin dan menempati rumah besar lainnya di Out-With. Bruno yang sejak awal menentang kepindahan ini, semakin menderita saat ia tahu bahwa di rumah barunya, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada rumah tetangga. Tidak ada taman. Tidak ada anak-anak bermain sepeda. Yang lebih parah, tidak ada tempat bermain. Eh, tunggu. Ternyata disini ada tempat bermain. Tempat itu sangat luas, tak jauh dari rumah Bruno, dan ia bisa melihat disana banyak anak-anak. Penampilan mereka sama: berkepala botak, dan berpiama garis-garis. Tapi sayangnya, tempat luas itu mempunyai pagar yang tinggi. Dan setiap Bruno hendak bertanya kepada siapapun yang ada di rumahnya tentang pagar-pagar itu, tidak ada yang mau menjawab. Apalagi jika pertanyaan Bruno berbunyi: “Mengapa mereka berpiama garis-garis?”

Bruno semakin merasa bosan di Out-With. Apalagi setiap hari rumah mereka didatangi orang-orang dewasa berwajah sangar. Menurut Maria sang pelayan di rumah, orang-orang sangar itu adalah anak buah Ayah Bruno. Tidak jarang, ada orang dewasa lain yang membuat ayah terbungkuk-bungkuk menghormatinya. Mereka datang dengan mobil bagus, berbendera merah-hitam, dengan lambang dua swastika. Dan mereka selalu bertemu ayah di dalam ruangan yang Bruno dilarang mendekatinya. Ia semakin bosan.

Kebosanan membuat naluri lama Bruno bangkit. Ia pun menjelajah. Hal yang sangat dilarang di Out-With ini. Menjelajah. Dan Bruno melanggarnya. Ia menyusuri pagar tinggi itu. Ia juga tidak mengerti apa yang ingin ia temui. Setelah dua jam perjalanan, ia hampir menyerah. Dan saat ia ingin berbalik kembali ke rumahnya, ia menemukan sesuatu. Seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu duduk bersila. Di balik pagar sebelah sana. Duduk dengan pandangan kosong, seakan menunggu seseorang menemukannya. Dan seperti penghuni lain di balik pagar sebelah sana, Shmuel, nama anak itu, berkepala botak, berpiama garis-garis, dan tanpa sepatu. Ia mengenakan gelang tangan –yang menurut Bruno keren– dengan gambar bintang dari dua segitiga berlawanan arah.

Dimulailah persahabatan itu. Persahabatan antara dua anak laki-laki, dari dua sisi pagar yang berbeda. Hampir setiap hari Bruno bertemu dengan Shmuel, berbagi cerita tentang dunia anak laki-laki. Bertanya-tanya, apa kegiatan Shmuel di balik pagar sebelah sana. Tentu saja Bruno bahagia, ia menemukan teman. Shmuel yang hampir percaya pada Bruno, karena satu insiden harus membuang jauh rasa percayanya. Dan Bruno yang saat itu hanya ingin punya teman, punya satu cara jitu untuk meyakinkan Shmuel, ia HARUS merasakan kehidupan di pagar sebelah sana. Keputusan yang mengakhiri semuanya. Tapi Bruno tidak salah, tidak juga Shmuel, mereka hanyalah anak laki-laki.

Jika Anda tidak ingin merusak keasyikan membaca novel ini, saya sarankan berhenti membaca resensi saya disini, karena selanjutnya saya akan menjelaskan tentang apa novel ini sebenarnya. Uh, sangat tidak seru.
****

Novel ini, sangat sarkas tis. Oke, dugaan Anda benar. Novel ini berkisah tentang kejahatan Nazi terhadap para Yahudi. Atau setidaknya begitulah ‘kebenaran’ versi dunia. Walau ternyata diketahui kemudian bahwa Hitler pun orang Yahudi, dan ia membantai hanya para Yahudi keturunan dalam tragedi itu. Pembantaian yang kemudian menjadi pembenaran bagi segelintir orang Yahudi untuk meraih simpati dunia dan merampas tanah orang lain, mendirikan negara Israel.

Novel ini mengambil latar di kamp pengungsian Yahudi terbesar di Auschwitz, Polandia. Tempat salah satu pembunuhan massal, holocaust, terjadi. Kentara sekali kegelisahan yang dirasakan penulis sepanjang cerita. Melalui deskripsi-deskripsi yang diberikan, kata-kata Bruno, maupun pemikirannya, terlihat jelas kebencian penulis terhadap sebuah “pagar”. Pagar yang membedakan ras, strata sosial, bahkan lebih jauh lagi, agama dan kepercayaan. Dengan sinis ia menggambarkan sosok The Fury (plesetan dari Deh Fuhrer, nama lain Adolf Hitler), isi kamp pengungsian dan penindasan yang dialami para Yahudi, dan bagaimana seorang non-Yahudi , dalam hal ini keluarga Bruno, memperlakukan para orang berpiama garis-garis. Membaca novel ini sangat menyesakkan, walaupun bukan tipe buku yang bisa membuat orang menangis seperti saat mengupas bawang. Dengan ending yang cukup menghentak, ia menghantar pesan luar biasa bahwa diskriminasi adalah sesuatu yang sangat tidak manusiawi. Melalui tutur seorang anak, novel ini hendak mengingatkan kepada kita –orang dewasa– bahwa sesungguhnya setiap manusia mempunyai naluri keadilan. Terkadang karena kerasnya kehidupan, kita tidak bisa lagi merasakan dan mengikuti naluri itu.

Mohon maaf saya tidak bisa menilai kekurangan dari buku ini, karena memang tidak bisa menemukannya. Bagi saya, buku ini cukup baik dalam menempatkan Bruno sebagai anak-anak, walaupun pesan yang ditujukan memang untuk orang dewasa. Penulis tidak terjebak untuk membuat Bruno sebagai “orang dewasa yang terkurung dalam tubuh anak-anak”. Pikiran-pikiran Bruno, tingkah lakunya dan kata-katanya adalah murni dan kewajaran masa kanak-kanak, lebih karena nurani seorang manusia yang belum terkotori dengan doktrin ketidakadilan. Pada akhir novelnya penulis kembali menuliskan sindiran pada dunia: “Dan itulah akhir cerita tentang Bruno dan keluarganya. Tentunya semua itu sudah lama terjadi dan peristiwa seperti ini takkan terulang lagi. Tidak pada zaman seperti sekarang (hal 233)”.

Novel ini tidak terlalu tebal, ringan saat dibaca walaupun sarat dengan pesan. Penulisnya, John Boyne bisa dikatakan sebagai seorang penulis yang sukses di dua genre: dewasa dan anak. Boyne menulis beberapa buku best seller dalam kedua genre tersebut. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam 43 bahasa, ia menjadi salah satu buku best seller versi New York Times dan di beberapa negara lain seperti UK, Austria, Irlandia, dsb. Menurut situs resmi sang penulis, hingga saat ini sudah terjual lebih dari 5 juta kopi di seluruh dunia. Walau demikian, buku ini tetap mendapat kritik pedas. Beberapa kalangan menganggap penulis tidak menggambarkan keadaan sebenarnya di dalam kamp, terutama karena tidak mungkin ada seorang anak –berusia 8 tahun – disana. Tapi biar sajalah anjing menggonggon, kafilah tetap berlalu. Tidak butuh waktu lama, sejak terbitan pertamanya di 2006 (buku asli), untuk kemudian cerita ini diangkat ke layar lebar pada tahun 2008 dengan judul yang sama. Dan menyusul kesuksesan bukunya yang mendapat beberapa penghargaan, filmnya pun demikian. Tapi jujur saja hingga saat ini saya belum berani menontonnya. Tidak sanggup untuk merasakan hal yang sama saat membacanya. Tidak dua kali.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar